Pagi menjelang siang yang lumayan cerah sekitar pukul 10.30
saya dan istri saya mengunjungi Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, setelah
beristirahat sejenak di penginapan sehabis setelah menempuh perjalanan dengan
kereta api sekitar 3,5 jam dari Jakarta. Harga tiket masuk ke obyek wisata ini
cukup murah, hanya Rp. 12.000,- per orang. Dengan harga segitu kita sudah bisa
berkeliling sampai puas di dalam area Taman Hutan Raya ( selanjutnya disingkat
Tahura) Ir. H. Djuanda.
Di dalam Tahura Ir. H. Djuanda ada berbagai macam obyek
wisata seperti Goa Jepang, Goa Jepang, Goa Belanda, Penangkaran Rusa, Tebing
Keraton dan banyak lagi. Saya dan istri saya memilih Goa Jepang dan Goa Belanda
untuk dikunjungi. Ke dua goa ini memang sudah lama dikenal dan membuat
penasaran untuk dikunjungi.
Dari pintu gerbang Goa Jepang mengarah ke kiri sedangkan Goa
Belanda mengarah ke kanan. Kami putuskan untuk mengunjungi Goa Jepang terlebih
dahulu. Sesampainya di Goa Jepang, kami menjumpai lorong – lorong yang dibuat
pada bukit berbatu. Lorong – lorong ini tidak dilapisi semen oleh pihak Jepang,
dibiarkan apa adanya. Lorong – lorongnya sangat gelap sehingga harus
menggunakan senter untuk menjelajahinya. Senter bisa kita dapatkan dengan cara
menyewa dengan harga Rp. 5000,- per senter. Kita juga bisa menggunakan jasa
pemandu wisata dengan tarif Rp. 40.000,-
Begitu memasuki Goa yang kami rasakan adalah gelap dan
lembab serta ada semilir angin dingin dari dalam Goa. Sebenarnya Goa ini sudah
dilengkapi lampu, tetapi lampu – lampu ini sudah lama rusak. Menurut pemandu
lampu – lampu ini rusak karena adanya rembesan air dari atas goa, karena di
atas goa dibangun jaringan pipa PDAM. Rembesan air inilah yang menyebabkan kondisi
Goa jadi lembab dan dingin. “Anginnya sendiri berasal dari lubang – lubang
ventilasi” kata pemandu sambil menunjukkan lubang – lubang ventilasi yang
dimaksud.
Pemandu kemudian menunjukkan bagian – bagian yang dulu
digunakan sebagai dapur, penyimpanan logistik, penyimpanan amunisi dan ruang
tidur bagi para petinggi militer Jepang. Pemandu menjelaskan Goa ini juga
befungsi sebagai barak militer. “Para prajuritnya sendiri tidur di sepanjang
lorong Goa ini” Kata pemandu, ketika kami tanyakan di mana tidurnya para
prajurit di Goa ini.
Setelah puas berkeliling Goa dan berfoto di depan Goa,
kamipun berjalan menuju Goa Belanda yang jaraknya kurang – lebihnya ada 1 km
dari Goa Jepang. Perjalanan yang lumayan menantang karena jalannya naik turun
dan berkelok. Sesampainya di Goa Belanda, kami melihat Goa yang agak berbeda
dengan Goa Jepang. Sebenarnya sama – sama dipahat di bukit batu. Yang
membedakan dengan Goa Jepang adalah Goa Belanda dindingnya telah disemen,
kemudian daun pintunya yang terbuat dari besi masih ada, sedangkan Goa Jepang
daun pintunya sudah tidak ada.
Fungsi Goa Belanda ini sama dengan Goa Jepang, tapi ada juga
yang membedakannya dengan Goa Jepang. Pemandu kami menunjukkan satu ruangan
yang dulunya dipakai untuk interograsi tahanan, dan beberapa ruangan yang
dulunya berfungsi sebagai sel tahanan. Perbedaan lainnya dengan Goa Jepang
adalah adannya pintu tembus ke belakang bukit, sedangkan Goa Jepang tidak ada
pintu tembus. Jadi bila ingin ke obyek wisata yang jalurnya ada dibalik bukit,
kita bisa mengambil jalan pintas melalui Goa Belanda ini.
Setelah puas melihat
melihat Goa Jepang dan Goa Belanda, kami berdua menikmati pemandangan
alam, sambil memperhatikan tingkah polah monyet – monyet yang banyak
berkeliaran di Tahura Djuanda ini. Bagi para pengunjung disarankan untuk tidak
menenteng kantong kresek, karena para monyet ini akan merampasnya. Botol air
mineral yang dipegang istri sayapun tidak luput dari incaran monyet, walaupun
mereka tidak merampasnya.
Puas berkeliling, tak terasa hari semakin siang. Kamipun
mengakhiri kunjungan dan memutuskan untuk makan siang di luar Tahura Djuanda.
Kami mendapat pelajaran untuk lebih menghargai alam dan warisan sejarah yang di
dalamnya. Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda ini harus benar – benar dijaga
kelestariannya. Apalagi ini satu – satunya hutan yang masih tersisa di Bandung.
No comments:
Post a Comment