Friday, July 27, 2018

Taman Hutan Rakyat Ir. H. Djuanda, Berkunjung ke Goa Jepang dan Goa Belanda


Pagi menjelang siang yang lumayan cerah sekitar pukul 10.30 saya dan istri saya mengunjungi Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, setelah beristirahat sejenak di penginapan sehabis setelah menempuh perjalanan dengan kereta api sekitar 3,5 jam dari Jakarta. Harga tiket masuk ke obyek wisata ini cukup murah, hanya Rp. 12.000,- per orang. Dengan harga segitu kita sudah bisa berkeliling sampai puas di dalam area Taman Hutan Raya ( selanjutnya disingkat Tahura) Ir. H. Djuanda.

Di dalam Tahura Ir. H. Djuanda ada berbagai macam obyek wisata seperti Goa Jepang, Goa Jepang, Goa Belanda, Penangkaran Rusa, Tebing Keraton dan banyak lagi. Saya dan istri saya memilih Goa Jepang dan Goa Belanda untuk dikunjungi. Ke dua goa ini memang sudah lama dikenal dan membuat penasaran untuk dikunjungi.

Dari pintu gerbang Goa Jepang mengarah ke kiri sedangkan Goa Belanda mengarah ke kanan. Kami putuskan untuk mengunjungi Goa Jepang terlebih dahulu. Sesampainya di Goa Jepang, kami menjumpai lorong – lorong yang dibuat pada bukit berbatu. Lorong – lorong ini tidak dilapisi semen oleh pihak Jepang, dibiarkan apa adanya. Lorong – lorongnya sangat gelap sehingga harus menggunakan senter untuk menjelajahinya. Senter bisa kita dapatkan dengan cara menyewa dengan harga Rp. 5000,- per senter. Kita juga bisa menggunakan jasa pemandu wisata dengan  tarif Rp. 40.000,-


Begitu memasuki Goa yang kami rasakan adalah gelap dan lembab serta ada semilir angin dingin dari dalam Goa. Sebenarnya Goa ini sudah dilengkapi lampu, tetapi lampu – lampu ini sudah lama rusak. Menurut pemandu lampu – lampu ini rusak karena adanya rembesan air dari atas goa, karena di atas goa dibangun jaringan pipa PDAM. Rembesan air inilah yang menyebabkan kondisi Goa jadi lembab dan dingin. “Anginnya sendiri berasal dari lubang – lubang ventilasi” kata pemandu sambil menunjukkan lubang – lubang ventilasi yang dimaksud.

Pemandu kemudian menunjukkan bagian – bagian yang dulu digunakan sebagai dapur, penyimpanan logistik, penyimpanan amunisi dan ruang tidur bagi para petinggi militer Jepang. Pemandu menjelaskan Goa ini juga befungsi sebagai barak militer. “Para prajuritnya sendiri tidur di sepanjang lorong Goa ini” Kata pemandu, ketika kami tanyakan di mana tidurnya para prajurit di Goa ini.



Setelah puas berkeliling Goa dan berfoto di depan Goa, kamipun berjalan menuju Goa Belanda yang jaraknya kurang – lebihnya ada 1 km dari Goa Jepang. Perjalanan yang lumayan menantang karena jalannya naik turun dan berkelok. Sesampainya di Goa Belanda, kami melihat Goa yang agak berbeda dengan Goa Jepang. Sebenarnya sama – sama dipahat di bukit batu. Yang membedakan dengan Goa Jepang adalah Goa Belanda dindingnya telah disemen, kemudian daun pintunya yang terbuat dari besi masih ada, sedangkan Goa Jepang daun pintunya sudah tidak ada.

Fungsi Goa Belanda ini sama dengan Goa Jepang, tapi ada juga yang membedakannya dengan Goa Jepang. Pemandu kami menunjukkan satu ruangan yang dulunya dipakai untuk interograsi tahanan, dan beberapa ruangan yang dulunya berfungsi sebagai sel tahanan. Perbedaan lainnya dengan Goa Jepang adalah adannya pintu tembus ke belakang bukit, sedangkan Goa Jepang tidak ada pintu tembus. Jadi bila ingin ke obyek wisata yang jalurnya ada dibalik bukit, kita bisa mengambil jalan pintas melalui Goa Belanda ini.

Setelah puas melihat  melihat Goa Jepang dan Goa Belanda, kami berdua menikmati pemandangan alam, sambil memperhatikan tingkah polah monyet – monyet yang banyak berkeliaran di Tahura Djuanda ini. Bagi para pengunjung disarankan untuk tidak menenteng kantong kresek, karena para monyet ini akan merampasnya. Botol air mineral yang dipegang istri sayapun tidak luput dari incaran monyet, walaupun mereka tidak merampasnya.

Puas berkeliling, tak terasa hari semakin siang. Kamipun mengakhiri kunjungan dan memutuskan untuk makan siang di luar Tahura Djuanda. Kami mendapat pelajaran untuk lebih menghargai alam dan warisan sejarah yang di dalamnya. Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda ini harus benar – benar dijaga kelestariannya. Apalagi ini satu – satunya hutan yang masih tersisa di Bandung.

No comments:

Post a Comment